Inspeksi Mendadak DPRD Makassar: Penuhi Janji kepada Pedagang Pasar Sawah
Sulsel
INFOO24JAM.ID, Gorontalo – Perseteruan antara Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, dan Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail, bukan lagi sekadar perbedaan pandangan soal kebijakan. Di tangan media, konflik ini menjelma menjadi drama epik, lengkap dengan babak-babak penuh tensi dan narasi emosional yang menggeser perhatian publik dari yang penting ke yang menghibur.
Apa yang seharusnya menjadi diskursus rasional tentang masa depan Gorontalo justru tenggelam di tengah sorotan kamera dan judul-judul bombastis. Kita tidak lagi membicarakan substansi pembangunan, tetapi sibuk memperdebatkan siapa duduk di mana di pesawat, siapa menyindir siapa di mimbar, atau siapa membalas dengan lebih pedas. Media tak lagi sekadar melaporkan ia mengarahkan sorot lampu, menyusun naskah, dan bahkan menentukan siapa protagonis dan siapa antagonis.
Dalam konteks ini, teori klasik tentang media sebagai amplifier konflik sangat relevan. Media bukan hanya menjadi cermin realitas, melainkan juga menjadi pengeras suara yang menggandakan intensitas konflik. Alih-alih mendorong pencarian solusi, media justru menyulut emosi. Warga tidak diajak berpikir kritis, tetapi diposisikan sebagai suporter dalam laga politik dua kubu: “kita” versus “mereka”.
Narasi yang dibangun tidak mendorong dialog, melainkan menciptakan batas. Perbedaan pendapat menjadi perpecahan, dan loyalitas pada tokoh menjadi lebih penting daripada akal sehat dan kepentingan bersama. Kita tidak lagi mencari kebenaran, tetapi membela figur. Polarisasi ini berbahaya, bukan hanya karena ia mengaburkan isu-isu mendesak, tetapi juga karena ia mengikis fondasi demokrasi deliberatif yang sehat.
Teori Penetapan Agenda (Agenda-Setting Theory) menyatakan bahwa media tidak bisa memaksa kita berpikir seperti apa, tetapi sangat berhasil menentukan tentang apa kita berpikir. Dan hari ini, media Gorontalo sangat berhasil membuat publik memikirkan satu hal: konflik personal elite.
Setiap komentar tajam, gestur kaku, hingga sejarah rivalitas pribadi diangkat menjadi tajuk utama. Bahasa yang digunakan pun bukan lagi informatif, melainkan provokatif menggoda emosi, bukan mengajak nalar. Di balik suksesnya ‘pertunjukan’ ini, ada yang dikorbankan: perhatian publik terhadap kebijakan, visi pembangunan, dan persoalan rakyat.
Kita seolah dipaksa menonton sinetron politik, sementara listrik padam, jalan rusak, pendidikan stagnan, dan ekonomi rakyat kecil tak kunjung mendapat perhatian yang layak.
Inilah titik kritis. Ketika media sibuk mengemas drama, para elite pun tergoda memainkan peran. Bekerja dalam senyap untuk menyelesaikan persoalan riil dianggap kalah menarik dibanding tampil heroik di layar kaca.
Namun harapan belum padam. Kunci perubahan justru terletak pada kita: publik sebagai konsumen informasi. Kita punya kuasa untuk memilih apa yang layak ditonton, didengar, dan dipercaya. Saatnya publik bersuara, bukan sekadar bersorak. Saatnya kita menuntut media untuk kembali ke khitahnya: sebagai ruang dialog, bukan arena adu jotos politik elite.
Sudah saatnya tirai pertunjukan ini diturunkan. Para elite perlu sadar: mereka bukan aktor di panggung hiburan, melainkan pelayan publik yang digaji untuk bekerja, bukan berseteru. Media pun harus berhenti menjadi panggung gladiator dan kembali menjadi pengawal demokrasi. Dan masyarakat? Kita harus berhenti menjadi penonton pasif yang terpukau oleh drama, lalu lupa pada isi.
Mari rebut kembali ruang publik kita dari sensasi menuju substansi. Politik bukan panggung hiburan, dan masa depan Gorontalo terlalu berharga untuk diserahkan pada lakon tanpa akhir.